Minggu, 16 Juni 2013

Eyang, Balekambang Kini Telah Berubah


Berjalan lurus ke arah barat dari Jl.RM.Said Solo, kaki ini mulai menyusuri Jalan Balekambang. Sepanjang jalan dalam perjalanan ini, masih terlihat beberapa pepohonan tua, yang berderet rapi di sisi utara dan selatan jalan. Saya katakan tua, sebab terlihat dari batangnya yang mulai rapuh termakan oleh jaman. Hanya satu pohon yang kukenali dalam gelapnya malam ini, ya, pohon kenari. Sebab pohon ini terlihat jelas di pagi hari, saat saya sempat melewati jalan ini beberapa waktu lalu. Terlihat, hilir mudik kendaraan mulai ramai, menunjukkan geliat antusiasme warga masyarakat untuk melihat pertunjukan malam itu. Langkah sudah mulai terhenti, lantaran depan gerbang besar berukir khas Jawa mulai penuh sesak dengan kendaraan bermotor yang mengantri karcis parkir. Gerbang besar itu seolah ramah menyambutku, juga menyambut tamu-tamu yang sudah mulai masuk.

Bulan temaram semi purnama malam ini terlihat cantik diatas sana, seolah memberi cahaya ”tambahan” untuk lighting area open stage Balekambang ini. Ya tepat hari ini, pergelaran wayang serial Ramayana kembali digelar untuk kesekian kalinya. Memang, Pemkot Solo mencoba kembali menghidupkan kesenian-kesenian tradisional Kota Solo, salah satunya yakni Sendratari Ramayana seperti malam ini. 

Area Open Stage Balekambang, tempat digelarnya Sendratari Ramayana


Area Open Stage Balekambang pagi hari
Tribun open stage mulai penuh dengan para penonton. Sudah terlihat lampu mulai menyala, para niyaga atau penabuh gamelan sudah bersiap, dan terlihat juga para penari bersiap memulai perannya masing-masing. Dua MC laki-laki dan perempuan mulai  membuka pergelaran sendratari Ramayana bertitel “ Anoman Obong” malam kali ini. Diawali dengan tari pembuka, yakni tari Pang Pung yang diiringi Gending Pang Pung, yang konon merupakan gending besutan dari Ki Narto Sabdo. Warna warni kostum para penari semakin menambah suasana pertunjukan semakin meriah. Pergelara dilanjutkan dengan penampilan kedua, yakni Tari Angsa, persembahan anak-anak dari Sanggar Tari Metta Budaya.  Enam anak menggunakan kostum putih-putih dengan aksesoris ala angsa, terlihat menari dengan lincahnya. 

Pergelaran semakin menarik, decak kagum para penonton yang bertepuk tangan semakin memecah keheningan Taman Balekambang yang konon dulu angker. Penonton semakin merangsek memenuhi tribune open stage. Tapi tidak mengapa, berjejal dengan penonton lain, tak membuat saya kehilangan momen mengabadikan setiap gerak para penari. Riuh rendah, sorak sorai penonton membelah kesunyian taman para Gusti Mangkunegaran ini. 

Tak lama berselang, pergelaran yang ditunggu sudah mulai, sendratari tari bertitel “Anoman Obong” malam ini mengisahkan perjuangan seorang kesatria berwujud kera putih bernama Anoman, dalam mengemban misi menyelamatkan seorang istri dari kesatria agung Prabu Ramawijaya, yakni Dewi Sinta. Dikisahkan sebelumnya, Dewi Sinta diculik oleh seorang raja raksasa bernama Prabu Rahwana dari Alengka untuk diperistri. Namun Dewi Sinta menolak, hingga akhirnya ia pun dikurung di Taman Argosoka. Penderitaan Sang Dewi pun tergambar jelas dari setiap adegan yang ditampilkan, bagaimana Prabu Rahwana bersikeras dan memaksanya untuk mengikuti keinginannya. Namun sekuat apapun Rahwana membujuknya, tetap saja Sang Dewi kuat juga menolaknya. Bahkan penolakan tersebut dibantu juga oleh abdi kinasih dari Alengka, Trijatha. 

Kisah berlanjut, dalam pencarian menemukan Dewi Sinta, sang suami yakni Prabu Ramawijaya bertemu dengan Anoman “Sang Dutha”. Singkat cerita, akhirnya Anoman pun berhasil memasuki Taman Argosoka, tempat dimana sang dewi berada. Dengan petunjuk dari Prabu Rama, akhirnya Dewi Sinta tahu dan percaya, bahwa Anoman diutus untuk menyelamatkannya. Namun, misi penyelamatan tersebut belum berhasil, karena diketahui oleh para prajurit Alengka. Pertempuran tak terelakkan. Adegan pertempuran menegangkan, kadang berasa agak kendor dengan selingan banyolan-banyolan lucu dalam peperangan. Gelak tawa para penonnton pun tak terbendung, berselang dengan riuh tepuk tangan.
Pertempuran semakin ganas, hingga Anoman akhirnya kalah dan berhasil ditangkap. Para prajurit Alengka berusaha menaklukkan Sang Anoman, dengan cara membakarnya. Mereka mulai mengumpulkan kayu bakar dan mulai menyalakan api. Api terlihat mulai mengepung tubuh Anoman yang diikat pada sebuah tiang. Disaat api mulai membesar, disaat itulah puncak kemarahan Anoman mencapai klimaks. Dengan kesaktiannya, Anoman mampu terlepas dari ikatan tali, dan langsung memporak porandakan kayu bakar dengan api yang sudah membesar itu. Tampaknya “Geger Ngalenkodirojo Awal” sudah dimulai, para prajurit Alengka lari tunggang langgang dengan aksi Sang Duto itu.

Begitu dramatis dan spektakuler pertunjukan malam ini. Namun sayang, berhasilnya Anoman terlepas dari kobaran api tersebut menjadi ending dari pertunjukan kali ini. Semakin riuh tepuk tangan dan sorak sorai dari penonton, menandakan Pergelaran Sendratari Ramayana bertitel “Anoman Obong” sudah berakhir. Berangsur, banyak penonton berhamburan ke tengah stage untuk berfoto bersama para pemain. Namun tak sedikit para penonton yang langsung beranjak pulang dengan meninggalkan kesan yang wow. Mungkin termasuk saya.

Ini yang menjadi asal muasal Balekambang, dimana terdapat Bale atau tempat yang seolah-olah mengapung / mengambang. Lokasi : Partini Tuin
Dalam perjalanan pulang, kembali saya menyusuri jalan lurus Balekambang ini dengan sedikit “beban” pikiran. Saya mencoba mengurai “beban” pikiran itu, dan teringat cerita eyang saya dulu mengenai Balekambang. Menurut cerita eyang-eyang, “Balekambang jaman dhisik kuwi wingit (angker), okeh wit wit gedhe, lha nggone poro ratu dhisik ki mesti wingit”. Beliau lalu juga berkisah “ jaman ndhisik wong yen meh nonton kethoprak kuwi mbrobos, tur ndelok soko pager kawat, mulane dijenengi ndelok soko kawatan. Yen pas ditakoni petugase jogo karcis, kondo lha mboten gadhah arto kok pak”
Salah satu sudut di Taman Balekambang Solo - Partinah Bosch

Cerita itu begitu hafal saya ingat, namun agaknya cerita eyang-eyang dulu itu seolah tenggelam oleh jaman. Ya, jaman yang telah berubah membuat “keangkeran” Taman Balekambang berubah menjadi “keramahan”. Tak ada lagi kewingitan, tak ada lagi penjaga karcis masuk itu, dan tak perlu lagi mbrobos hanya untuk menonton pertunjukan. Cerita panjang akan Balekambang jaman itu sudah berlalu seiring dengan langkah yang melaju untuk pulang..

Perahu Nostalgia Bengawan Solo

Gambar
Bengawan Solo Tempo Doeloe (Sumber : KITLV)


Sungai bengawan yang mengalir indah, dan kayuhan perahu yang melaju dengan tenang serasa menenggelamkan lamunan ini dalam sejarah masa silam. Berabad sudah berlalu, Bengawan Solo telah mengukir sejarah panjang dari peradaban manusia di Bumi Jawa.

Satu hal yang mungkin tidak semua orang khususnya warga Solo tahu. Bahwa tepi Bengawan Solo, tepatnya di Kampung Beton ternyata menyimpan eksotisme menarik dari sungai terpanjang di Jawa itu. Bengawan Solo dulunya merupakan bandar pelabuhan perdagangan yang ramai. Dalam catatan sejarah disebutkan, Bengawan Solo ternyata sudah ada sejak Kerajaan Majapahit, dan berlangsung hingga Kerajaan-kerajaan sesudahnya, sampai Kerajaan Besar Surakarta Hadiningrat sebagai penerus generasi Kerajaan Mataram Islam di Kota Gedhe. Namun sisa-sisa kejayaan tepian Bengawan Solo sedikit saja yang bisa kita jumpai.
Menelusuri sejarah Bengawan Solo tentunya belum lengkap rasanya, jika belum merasakan sendiri bagaimana leluhur kita dulu berlabuh dan berlayar di Sungai Bengawan Solo, hanya dengan menggunakan perahu. Pengalaman yang unik dan mengasyikkan akan kita rasakan jika ingin mencoba berlayar untuk menyeberang atau sekedar melintas di Sungai Bengawan Solo. Cuma sekedar refreshing, why not??
Hanya dengan membayar seribu rupiah, kita sudah bisa menikmati bagaimana sensasi menggunakan transportasi air tersebut. Cukup murah bukan?. Satu hal yang sudah jarang kita jumpai di Kota Besar seperti Solo, yang seiring perkembangan jaman, moda transportasi air tradisional semacam perahu sudah mulai ditinggalkan, dan berganti dengan transportasi bermesin. Tapi Bengawan Solo masih tetap setia pada orang yang masih mencari nafkah diatasnya. Nah, jika beruntung, kita bisa berlayar bareng dengan warga sekitar yang juga hendak menyeberang, atau bahkan anak-anak sekolah di pagi hari yang hendak mencari ilmu ke “seberang pulau”.hehe…
Gambar
Jangan lupa, bayar disini
Gambar
Monggo, giliran berikutnya..


Perahu Bengawan Solo biasanya dikemudikan oleh seorang atau dua orang “nakhoda” perahu, yang setiap hari siap membantu kita menyeberang. Bisa dipastikan para “nakhoda” perahu bengawan itu telah berpengalaman berpuluh tahun, dan sudah akrab dengan sahabat setianya, yakni perahu dan pastinya Sungai Bengawan Solo. Dermaga atau Bandar Bengawan Solo beroperasi sampai malam lho, biasanya sampai jam 10, bahkan sampai jam 11 malam. Namun tak jarang, petugas jaga dermaga tetap setia menunggu para penumpang hingga larut malam.
Setelah sampai seberang, kita bisa lanjutkan kembali perjalanan kita menuju Desa Gadingan, Kecamatan Mojolaban, Kabupaten Sukoharjo. Desa Gadingan merupakan sentral pembuatan karak, camilan pelengkap makan dari olahn beras yang diberi bumbu, dipotong dan dikeringkan, lantas digoreng. Dari sentral pembuatan karak itulah, para pedagangnya mengarungi Sungai Bengawan Solo untuk menjual ke para penikmatnya.

Kembali, Sungai Bengawan Solo menjadi pengantar setia bagi mereka yang masih membutuhkannya. Kenangan sejarah akan keramaian Tepi Bengawan Solo sebagai bandar atau pelabuhan memang sudah tak tersisa, namun kehidupan dan masyarakatnya masih menyisakan sedikit Nostalgia dari Bandar Besar Bengawan Solo.


Gambar
Menunggu giliran untuk menyeberang
Gambar
Melaju pelan, mengikuti irama arus sungai Bengawan Solo

Pantas saja, Almarhum Gesang menggambarkan begitu indah Sungai Bengawan Solo lengkap dengan perahunya, lewat lagu berjudul “Bengawan Solo”, hingga membawa Gesang, Solo, dan Indonesia dikenal diseluruh dunia. Berbeda dengan Almarhum Gesang, seniman campursari, Almarhum Manthous juga mengabadikan Sungai Bengawan Solo lewat tembang Jawa berjudul “Bengawan Sore”. Walaupun dengan konteks berbeda, tapi Bengawan Solo tetap akan menjadi sebuah kenangan terindah bagi kita yang ingin blusukan Kota Solo dan bernostalgia dengan Sungai bernama Bengawan Solo..
Rohmat Hidayat for Blusukan Solo