Senin, 29 Juli 2013

Mblusuk ke Utara Kota Solo

Terik matahari Minggu siang itu begitu menyengat. Kali ini aku benar-benar merasakan begitu dahsyatnya panas jalur khatulistiwa di Indonesia. Berbekal sepeda (pinjeman) yang lumayan bisa jalan, topi hitam kesukaanku, dan tas ransel ala-ala backpacker, aku mulai menyusuri jalanan dari arah Gondang Solo menuju kawasan Ngarsopuro di depan Puro Mangkunegaran
Kupacu sepedaku dengan penuh perjuangan, bermandikan keringat, plus berkejaran dengan waktu yang tak mau lagi berkompromi. Berat? Iya, panas? Iya, Lapar? So pasti, solanya pas lagi puasa bro. Tapi tak apalah. Panas siang itu kurasakan memang benar-benar membakar, dan meninggalkan jejak gosong dimukaku karena kepanasan. 

Setelah berjuang selama kurang lebih 15 menit, akhirnya sampai juga di starting tempat kita kumpul. 

…Welcome Ngarsopuro…

Kawasan Ngarsopuro Solo saat ini


Alhamdulillah, ternyata sudah banyak yang datang. Kuparkirkan sepedaku bersama sepeda-sepeda yang lain. Beberapa wajah tak asing aku temui siang itu. Mas mbak dengan “aksesoris lengkapnya” berupa kaos model polo warna biru, sebuah toa, dan tak ketinggalan spanduk warna biru bertulisan BLUSUKAN SOLO. Uniknya lagi, perjalanan kali ini ada tamu dari luar kota lho, jauh-jauh dari Ngayogyokarto Hadiningrat, adiknya Surokarto Hadiningrat, hanya untuk ikutan kegiatan Blusukan Solo, hebat -- Sugeng rawuh Bapak, sugeng rawuh Mas --

Siang itu, aku dan temen-temen Komunitas Blusukan Solo kembali mengadakan perjalanan mblusuk bertitle "Cerita Dari Oetara - Merangkai Roda Cerita di Utara Soerakarta”. Dari namanya saja sudah bisa tercium aroma arah perjalanannya mau kemana. Oetoro atau Untoro dalam Bahasa Kawi, yang sekilas mirip dengan kata Utara dalam Bahasa Indonesia. Orang Jawa kebanyakan sering menyebutnya Lor yang juga berarti utara. Ya, kali ini Komunitas Blusukan Solo akan mengadakan perjalanan ke tempat-tempat yang mempunyai nilai sejarah didaerah utara atau untoro Kota Solo. 

Sebelum gowes lebih jauh, kita dapat penjelasan awal bahwa tempat dimana kita berkumpul yakni Ngarsopuro, yang mulanya dulu adalah sebuah pasar yang menjual barang-barang guna mensuplay kebutuhan Puro Mangkunegaran. Sejenak keinget masa lalu dimana tempat ini awalnya bernama Triwindu, dan masih terekam utuh dalam memori ingatanku, ketika ibu mengajakku makan nasi rawon di pojokan Pasar Triwindu beberapa tahun lalu, lebih tepatnya 17 tahun yang lalu -- wah jadi merasa tua, tak apalah yang penting jiwa masih muda, dan emang masih muda *halah --

Puro Mangkunegaran Solo

Semua peserta yang telah bersiap satu persatu mulai bergerak dengan sepedanya masing-masing. Bertolak dari Ngarsopuro, perjalanan berlanjut melewati tembok keliling Puro Mangkunegaran sampai belakang Puro hingga akhirnya tembus Kampung Kebalen. Ya, Kampung Kebalen yang konon menurut salah satu cerita, tempat ini dulunya adalah kampungnya orang-orang Bali yang tinggal di Solo. 
Sebelum melewati Kampung Kebalen, kami sebenarnya sempat melintas di depan salah satu hotel di Solo yang mempunyai bangunan khas asli Jawa yakni Joglo. Hotel di daerah Kusumoyudan itu dulunya merupakan sebuah nDalem kagunganipun KPH Kusumoyudo, salah satu putra Sri Susuhunan Pakoe Boewono X, sehingga disebut nDalem Kusumoyudan. Nah menurut cerita eyang-eyang dulu, awalnya daerah Kebalen dan sekitarnya juga disebut wingking (belakang) nDalem Kusumoyudan. Sebenarnya tidak hanya bangunan itu saja yang kami lewati, sebab masih banyak bangunan-bangunan kuno di sekitar Kampung Kebalen yang mempunyai nilai sejarah, termasuk Lojen Wilhelmina yang sekarang menjadi Kantor PM dan Gereja Katolik Santo Antonius Purbayan.

Keluar dari Kampung Kebalen, gowes berlanjut melewati Pasar Burung Widuran, dan Kampung Kepatihan. Sempat berpikir mampir juga ke Masjid Kepatihan yang juga merupakan peninggalan sejarah Kota Solo. Sebab kalau dilihat dari arstiketur dan detail ragam hiasnya, kelihatan banget kalau masjid model Jawa ini juga menjadi saksi sejarah Kota Solo selama ratusan tahun. Masjid yang kini bernama Masjid Al Fattah masih berdiri kokoh sebagai tempat ibadah Umat Islam. Sempat beberapa kali ibadah di tempat itu. Kesan sejuk, megah, adem ayem, khusyu, dan njawani selalu mewarnai setiap kali masuk untuk sholat di masjid itu. 

Kampung Kepatihan menjadi destinasi berikutnya. Namun belum aku jumpai nuansa-nuansa kediaman atau nDalem Pepatih Dalem Nagari Surokarto Hadiningrat ini. Yang tersisa hanyalah lengkungan-lengkungan diatas jalan besar utama menuju Gedung Pengadilan Solo. Saya bisa jamin, lengkungan-lengkungan yang sudah berkarat itu merupakan peninggalan yang tersisa dari kemegahan nDalem Kepatihan, sebab aku masih mempunyai beberapa dokumentasi foto-foto Kepatihan Tempo Doeloe, lengkap dengan foto Pepatih Dalem terakhir, Kanjeng Adipati Sosrodiningrat IV. Foto-foto itu saya dapat dari sebuah museum di Belanda, dan kini rapi menjadi koleksi pribadi. 

Pepatih Dalem Kanjeng Adipati Sasradiningrat (Sumber : Tropen Museum)
 
Perhatikan dengan detail lengkung gapuro, hanya itu yang tersisa dari nDalem Kepatihan (Sumber : Tropen Museum)
 
Gapuro nDalem Kepatihan, terlihat beberapa prajurit Kepatihan sedang kirab      (Sumber : Tropen Museum)

Jalan daerah Kepatihan itu akhirnya tembus di depan SMKI, dan perjalanan kami akhirnya berhenti sejenak di sebuah rumah kuno tersembunyi diantara bangunan-bangunan bertembok tinggi dilengkapi gerbang besi yang kokoh. Aku tidak menyangka, ternyata masih ada bangunan yang nyempil di antara bangunan-bangunan angkuh di sekitarnya. Masuk lebih kedalam, kami jumpai sebuah rumah kuno yang berada tepat di belakang gedung-gedung sekolah SMKI dengan arsitektur dan ragam ukir yang khas. Rumah dengan dominasi warna hijau itu mempunyai 3 pintu yang bercat senada. Diatas ketiga pintu itu dipajang 3 buah foto, yakni Susuhunan Pakoe Boewono IV berada di tengah, Susuhunan Pakoe Boewono IX di sebelah timur dan KRMT Darmonegoro di sebelah barat, yang menurut informasi beliau adalah sang empunya rumah. Tepat di depan ketiga pintu juga terdapat meja antik besar, kursi goyang, dan sebuah jam dinding kuno.

Puas menyambangi rumah itu, kami melanjutkan perjalanan kearah panggung di daerah Jebres, dengan melewati beberapa tempat yang menurut cerita eyangku juga mempunyai sejarah sinuhun-sinuhun jaman dulu, diantaranya Panti Sari yang sekarang menjadi gedung pertemuan, Kampus Psikologi Mesen, dan Stasiun Jebres Solo. -- Mungkin lain kali ya temen-temen Komunitas Blusukan Solo, kita eksplor lebih jauh mengenai tempat-tempat itu --

Bersepeda berurutan, kami melintasi Perempatan Panggung yang terkenal sangat ramai dan padat.  Dengan mengayuh pelan, akhirnya kami berhasil menyeberang dan masuk gang didaerah Kampung Bibis Wetan menuju destinasi berikutnya, yakni Kampung Kandang Sapi. Dari namanya saja mungkin sudah bisa ditebak asal muasal kampung itu. Nah, masih menurut sejarah dan cerita-cerita eyang, tempat itu dulunya adalah tempat untuk ngguyang atau memandikan sapi milik keraton. Hingga akhirnya nama kampung ini tercipta. Hal ini ternyata juga dibuktikan dengan salah sau peninggalan yang mendukung keberadaan Kampung bernama Kandang Sapi ini. Aneh memang nama kampung satu ini, tapi begitulah adanya J . Nah salah satu bukti sejarah yang kami datangi adalah salah satu sendang dibawah pohon tua berpostur tinggi rindang berakar tebal dan besar, berada tepat di sebelah timur Masjid (-yang saya lupa namanya-) bernama Sendang Penganten. Dan akhirnya kami juga ketahui bahwa pohon besar itu bernama Pohon Kepoh


Sendang Penganten, tempat sapi-sapi keraton dimandikan


 
Pohon Kepoh menaungi Sendang Penganten
 
Keadaan Sendang Penganten, airnya tampak berwarna hitam

Kesan pertama melihat sendang ini adalah : nggak nyangka, di tengah Kota Solo yang sudah sedemikian rupa, ternyata masih ada sendang semacam ini. Bener-bener kagum ama Solo, kagum juga ama Komunitas Blusukan Solo.

Kembali ke sendang. Sebetulnya tidak banyak yang kami eksplor dari tempat itu, sebab jujur aku kurang bisa mendengarkan penjelasan dari narasumber atau Pak RT mengenai tempat itu, soalnya mungkin bapaknya lupa mencet salah satu tombol toa, hingga suaranya kagak kedengeran – hehehe -- Atau mungkin aku yang nggak memperhatikan penjelasan beliau -- maaf ya pak ^_^V --

Yang saya ketahui, sendang ini ada dua, yang satunya disebelah utaranya konon buat memandikan sapi yang betina, makanya agak tertutup. -- Waahh ternyata sapi malu juga ya mandi bareng ama temen-temenya -- 

Nah, sendang itu kini berair hitam keruh, dan nampak kurang terawat, meskipun sudah ada tulisan himbauan mengenai menjaga kebersihan sendang dan larangan untuk membuang kotoran dilokasi sendang. Sempat melongok melihat ke dalam sendang, ternyata ada ikan lele nya lho – Hahahaha, dan kenapa nggak dirawat ya, kalo dirawat kan bagus bisa digunakan sebagai mata air jernih dan menarik *alah --

Usai mengunjungi Sendang Penganten, kami melanjutkan destinasi terakhir perjalanan kali ini untuk menuju Astana Oetara didaerah Nayu. Bersepeda menuruni jalan yang agak njojrok (bhs.Jawa) atau menurun, kami melewati Pasar Mojosongo ke barat. -- Jujur, baru kali ini dan untuk pertama kalinya saya melewati tempat dan jalan ini -- . Sepanjang perjalanan terlihat padat rumah-rumah berderat, dan sekali melintasi rel tanpa berpalang pintu di daerah sekitaran Ngempak dan Nusukan

Ibu Yamti mulai menceritakan sejarah keberadaan Astana Oetara

Lelah gowes, akhirnya sampai juga di finish perjalanan ini. Ya, Astana Oetoro, astana yang dalam Bahasa Indonesia berarti pemakaman atau kuburan, dan Oetoro yang berarti utara.  Jadi, Pemakaman di sebelah utara. Nah, Astana Oetoro ini adalah sebuah kompleks pemakaman dari Sri Paduka Mangkoenegoro VI ((1896—1916), beserta para kerabat, garwa prameswari, garwa ampil, dan para putranya, termasuk juga pepatihnya. 

Tiba di depan kompleks pemakaman, gerbang besi dengan lengkung diatas menyambut kami dengan pintunya yang sudah terbuka lebar. Gerbang ini juga dikelilingi tembok batu bercat putih. Tepat diatas pintu gerbang besi terdapat tulisan aksara jawa yang jujur aku nggak bisa baca :) , dan angka tahun 1928.
Memasuki kompleks lebih dalam, terdapat dua bangunan besar, sebelah timur terdapat pendhopo besar bercat krem sebagai tempat menerima tamu dan singgah sementara. Sedangkan bangunan sebelah barat adalah  sebuah masjid lengkap dengan tempat wudhunya. Riuh suara anak-anak TPA masjid membuat kompleks pemakaman yang identik sepi dan seram berubah menjadi keramaian penuh keceriaan. Tepat lurus di jalan masuk berada di halaman, terdapat sebuah patung bergaya eropa, dan sebuah patung yang belum aku ketahui siapa dia. 

Terlihat di sekitar kompleks, pepohonan besar yang rimbun meneduhi kami saat kami disambut oleh seorang abdi dalem, yang belakangan saya ketahui bernama Ibu Yamti, dan beliau termasuk mantu buyut dari Sri Paduka Mangkoenegoro VI. Sambutan penuh keramahan dengan memulai menceritakan sejarah keberadaan makam yang konon sudah ada sejak 1870 itu. Ibu Yamti bercerita, bahwa kompleks makam ini diarsitekturi oleh Ir. Soekarno yang dikenal sangat dekat dengan kerabat Puro Mangkunegaran. 

Ada satu pertanyaan yang mungkin menjadi pertanyaan buat semua peserta Blusukan. Nah, kalau Adipati yang bertahta di Mangkunegaran biasanya dimakamkan di Pasareyan Girilayu di Bukit Mengadeg Matesih Karanganyar, kenapa Sri Paduka Mangkoenegoro VI dimakamkan disini? Akhirnya pertanyaan itu terjawab dengan penjelasan Ibu Yamti, bahwa alasan kenapa Eyang Mangkoenegoro VI dimakamkan di area ini, karena ingin dimakamkan ditengah kota, agar bisa dekat dengan kawulo atau rakyatnya. Luar biasa, andai saja pemimpin-pemimpin negeri ini mencontoh sosok Paduka Sri Mangkoenegoro VI -- sambil menghela napas panjang, prihatin apa kecapekan yaa --

Cungkup Makam di area paling tinggi, tempat disemayamkannya Sri Mangkunegoro VI
 
Kompleks Makam tampak dari luar
Nah, Sri Mangkunagoro VI lahir pada Jumat Pon 17 Rejeb Wawu 1785 (13 Maret 1857 Masehi) dengan nama GRM Soejitno, putra keempat Sri Mangkunagoro IV dengan permaisuri. Gelar KPA Dhayaningrat disandangnya saat berusia 17 tahun (29 Agustus 1874) dan naik takhta pada Sabtu Legi, 15 Jumadilakir Jimakir 1826 (21 November 1896 Masehi).

Sri Mangkoenegoro VI sebenarnya tidak berhak atas takhta Pura Mangkunegaran. Tapi karena putra mahkota ketika Sri Mangkunagoro V  saat meninggal masih kecil, kekosongan takhta itu akhirnya beliau duduki sementara. Nah, ketika putra mahkota telah cukup usia dan dirasa mampu, atas kehendak sendiri dia turun takkta pada Selasa Kliwon, 3 Mulud Je 1846 (11 Januari 1916 Masehi) dan ambegawan sebagai Satria Pinandhita di Kota Surabaya hingga meninggal 24 Juni 1928.

Setelah mendapat penjelasan, kami dipersilahkan menengok kompleks makam yang memang berada di area agak tinggi dari sekitarnya, sebab sebelum menjadi makam, areal itu memang konon sebuah bukit yang terletak di utara Kota Solo, dekat Jembatan Kalianyar dan Terminal Tirtonadi, termasuk wilayah Kelurahan Nusukan, Banjarsari, Solo. Gerbang menuju makam terbuat dari kayu dan bercat warna kuning dan hijau. Lebih kedalam lagi terdapat beberapa makam lagi, yakni makam beberapa patih Sri Mangkoenegoro VI, abdi dalem, dan kerabat lainnya. Naik beberapa anak tangga, sampailah pada sebuah bangunan utama atau cungkup dan paling tinggi diantara bangunan disekitarnya. Inilah makam Sri Mangkoenegoro VI beserta garwa prameswarinya. Depan cungkup sebelah kanan dan kiri tepat naik beberapa anak tangga tadi terdapat makam garwa ampil dan para putro. Sepi, tenang, dan terlihat sederhana kompleks makam ini.
Makam putra dan kerabat, terletak disebelah timur tangga menuju makam utama
Makam para garwa ampil
Setelah meliaht kompleks makam, kami singgah ke pendhopo sambil menunggu bedug Maghrib berkumandang untuk buka puasa. Mengisi waktu jelang Maghrib, aku dengan beberapa temen sempet melihat dan mengorek-orek lemari kuno di pendhopo yang terdapat beberapa macam surat dan file usang yang sudah berubah warna menjadi coklat karena usia. Jujur kami tidak bisa mengeja apalagi membaca diantaranya, sebab selain berbahasa londo alias Belanda dan tulisan jawa, tulisan tersebut memang sudah agak buram dan tulisannya ada yang hilang. -- Cuma mbatin : sungguh malang kertas-kertas sepuh ini, kenapa nggak dirawat yaa, padahal bagus lho *alah -- 

Kartu undanga tempoe doeloe, berbahasa Belanda. Tapi yang pegang bukan orang Belanda. hehehe
Foto-foto lama yang masih tersimpan di pendhopo kompleks makam
Detik-detik menjelang buka, kami sudah mulai merangsek untuk memilih beberapa makanan yang sudah tersedia dimeja. Kolak pisang, teh anget, intip, ledre, dan tak ketinggalan nasi plus lauknya garang asem lengkap dengan karak. Jamaaaaaaaahhh, serbuuuuuu……. -- Pas banget ama suara azan yang berkumandang di masjid depan -- Makanan unik kali ini adalah ledre intip dan garang asem, yang konon merupakan makanan favorit Sri Mangkoenegoro VI.  -- Waaahhh berasa jadi bangsawan niii alias buangsane tangi awan.. Buahahahahahah -- 

Setelah puas berbuka, sejenak kami menyempatkan sholat di masjid kompleks pemakaman. Masjid sederhana dengan dominasi warna hijau khas Mangkunegaran itu ramai sekali dengan para jamaah yang kebanyakan anak- anak TPA beserta guru-guru ngajinya. Beberapa diantaranya terlihat sangat galak karena perhatian sama adik-adik TPA yang sangat ramai bak pasar tumpah, hanya untuk mengingatkan agar adik-adik TPA nya diam dan anteng selama berada di dalam masjid -- Iya-iya mbak, aku kan meneng to, jangan dimarahin ya  -- 

Usai sudah Sholat Maghrib dilaksanakan, akhirnya kami sudahi perjalanan kali ini dengan berfoto bareng temen-temen Komunitas Blusukan Solo  -- *tetep, 1 - 2  -  3 jepreeeet …. Wey uwis, Bubar, bubar, bubar.. -- Akhirnya sesi foto menutup perjumpaan sekaligus perjalanan mblusuk kali ini. Puas rasanya perjalanan hari ini. Satu persatu peserta mulai meinggalkan kompleks makam  -- bukan karena takut lho ya -- untuk pulang ke rumah masing-masing. Ada yang jurusan Manahan, ada yang jurusan Pajang, Cemani, dan ada yang juga deket dengan lokasi yakni daerah Sumber -- Deket memang, tapi sudahlah --
 
Yang  penting sudah dapat cerita baru dari wilayah utara Solo. Capek? Iya, pegel? Iya, lapar lagi? Iya *eh…. Tapi nggak papa, lelah ini sudah terbayar dengan ledre intip berbungkus tas kresek untuk dibawa pulang *eh… Wakakakaka


Rohmat For "Komunitas Blusukan Solo”