Terik matahari Minggu siang itu
begitu menyengat. Kali ini aku benar-benar merasakan begitu dahsyatnya panas
jalur khatulistiwa di Indonesia.
Berbekal sepeda (pinjeman) yang lumayan bisa jalan, topi hitam kesukaanku,
dan tas ransel ala-ala backpacker, aku mulai menyusuri jalanan dari arah Gondang
Solo menuju kawasan Ngarsopuro di depan Puro Mangkunegaran.
Kupacu sepedaku dengan penuh perjuangan, bermandikan keringat, plus berkejaran
dengan waktu yang tak mau lagi berkompromi. Berat? Iya, panas? Iya, Lapar? So
pasti, solanya pas lagi puasa bro. Tapi tak apalah. Panas siang itu kurasakan memang
benar-benar membakar, dan meninggalkan jejak gosong dimukaku karena kepanasan.
Setelah berjuang selama kurang lebih 15 menit, akhirnya
sampai juga di starting tempat kita kumpul.
…Welcome Ngarsopuro…
![]() |
Kawasan Ngarsopuro Solo saat ini |
Alhamdulillah, ternyata sudah
banyak yang datang. Kuparkirkan sepedaku bersama sepeda-sepeda yang lain.
Beberapa wajah tak asing aku temui siang itu. Mas mbak dengan “aksesoris
lengkapnya” berupa kaos model polo warna biru, sebuah toa, dan tak ketinggalan
spanduk warna biru bertulisan BLUSUKAN SOLO. Uniknya lagi, perjalanan kali ini ada tamu
dari luar kota lho, jauh-jauh dari Ngayogyokarto Hadiningrat, adiknya Surokarto
Hadiningrat, hanya untuk ikutan kegiatan Blusukan Solo, hebat -- Sugeng
rawuh Bapak, sugeng rawuh Mas --
Siang itu, aku dan temen-temen Komunitas
Blusukan Solo kembali mengadakan perjalanan mblusuk bertitle "Cerita Dari Oetara - Merangkai Roda Cerita di Utara
Soerakarta”. Dari namanya saja sudah bisa tercium aroma arah
perjalanannya mau kemana. Oetoro
atau Untoro dalam Bahasa Kawi, yang sekilas mirip
dengan kata Utara dalam Bahasa Indonesia. Orang Jawa kebanyakan sering
menyebutnya Lor yang juga berarti
utara. Ya, kali ini Komunitas Blusukan Solo akan mengadakan perjalanan ke
tempat-tempat yang mempunyai nilai sejarah didaerah utara atau untoro Kota Solo.
Sebelum gowes lebih jauh, kita dapat penjelasan awal bahwa tempat dimana
kita berkumpul yakni Ngarsopuro, yang mulanya dulu adalah sebuah pasar
yang menjual barang-barang guna mensuplay kebutuhan Puro Mangkunegaran.
Sejenak keinget masa lalu dimana tempat ini awalnya bernama Triwindu, dan
masih terekam utuh dalam memori ingatanku, ketika ibu mengajakku makan nasi
rawon di pojokan Pasar Triwindu beberapa tahun lalu, lebih tepatnya 17
tahun yang lalu --
wah jadi merasa tua, tak apalah yang penting jiwa masih muda, dan emang masih
muda *halah --
![]() |
Puro Mangkunegaran Solo |
Semua peserta yang telah bersiap
satu persatu mulai bergerak dengan sepedanya masing-masing. Bertolak dari Ngarsopuro,
perjalanan berlanjut melewati tembok keliling Puro Mangkunegaran sampai
belakang Puro hingga akhirnya tembus Kampung Kebalen. Ya, Kampung
Kebalen yang konon menurut salah satu cerita, tempat ini dulunya adalah kampungnya
orang-orang Bali yang tinggal di Solo.
Sebelum
melewati Kampung Kebalen, kami sebenarnya sempat melintas di depan salah
satu hotel di Solo yang mempunyai bangunan khas asli Jawa yakni Joglo. Hotel di
daerah Kusumoyudan itu dulunya merupakan sebuah nDalem kagunganipun KPH Kusumoyudo, salah satu putra Sri
Susuhunan Pakoe Boewono X, sehingga disebut nDalem Kusumoyudan. Nah menurut cerita eyang-eyang dulu,
awalnya daerah Kebalen dan sekitarnya juga disebut wingking (belakang) nDalem
Kusumoyudan. Sebenarnya tidak hanya bangunan itu saja yang kami lewati,
sebab masih banyak bangunan-bangunan kuno di sekitar Kampung Kebalen yang
mempunyai nilai sejarah, termasuk Lojen
Wilhelmina yang sekarang menjadi Kantor PM dan Gereja Katolik Santo Antonius Purbayan.
Keluar dari Kampung Kebalen,
gowes berlanjut melewati Pasar Burung Widuran, dan Kampung Kepatihan.
Sempat berpikir mampir juga ke Masjid Kepatihan yang juga merupakan
peninggalan sejarah Kota Solo. Sebab kalau dilihat dari arstiketur dan
detail ragam hiasnya, kelihatan banget kalau masjid model Jawa ini juga menjadi
saksi sejarah Kota Solo selama ratusan tahun. Masjid yang kini bernama Masjid
Al Fattah masih berdiri kokoh sebagai tempat ibadah Umat Islam. Sempat
beberapa kali ibadah di tempat itu. Kesan sejuk, megah, adem ayem, khusyu, dan njawani selalu mewarnai setiap kali
masuk untuk sholat di masjid itu.
Kampung Kepatihan menjadi
destinasi berikutnya. Namun belum aku jumpai nuansa-nuansa kediaman atau nDalem Pepatih Dalem Nagari Surokarto
Hadiningrat ini. Yang tersisa hanyalah lengkungan-lengkungan diatas
jalan besar utama menuju Gedung Pengadilan Solo. Saya bisa jamin,
lengkungan-lengkungan yang sudah berkarat itu merupakan peninggalan yang
tersisa dari kemegahan nDalem Kepatihan, sebab aku masih mempunyai beberapa dokumentasi foto-foto Kepatihan Tempo
Doeloe, lengkap dengan foto Pepatih Dalem terakhir, Kanjeng
Adipati Sosrodiningrat IV. Foto-foto itu saya dapat dari sebuah museum di
Belanda, dan kini rapi menjadi koleksi pribadi.
![]() |
Pepatih Dalem Kanjeng Adipati Sasradiningrat (Sumber : Tropen Museum) |
![]() |
Perhatikan dengan detail lengkung gapuro, hanya itu yang tersisa dari nDalem Kepatihan (Sumber : Tropen Museum) |
Jalan daerah Kepatihan itu
akhirnya tembus di depan SMKI, dan perjalanan kami akhirnya berhenti
sejenak di sebuah rumah kuno tersembunyi diantara bangunan-bangunan bertembok
tinggi dilengkapi gerbang besi yang kokoh. Aku tidak menyangka, ternyata masih
ada bangunan yang nyempil di antara bangunan-bangunan angkuh di sekitarnya.
Masuk lebih kedalam, kami jumpai sebuah rumah kuno yang berada tepat di
belakang gedung-gedung sekolah SMKI dengan arsitektur dan ragam ukir yang
khas. Rumah dengan dominasi warna hijau itu mempunyai 3 pintu yang bercat
senada. Diatas ketiga pintu itu dipajang 3 buah foto, yakni Susuhunan Pakoe
Boewono IV berada di tengah, Susuhunan Pakoe Boewono IX di sebelah
timur dan KRMT Darmonegoro di sebelah barat, yang menurut informasi beliau adalah
sang empunya rumah. Tepat di
depan ketiga pintu juga terdapat meja antik besar, kursi goyang, dan sebuah jam
dinding kuno.
Puas menyambangi rumah itu, kami
melanjutkan perjalanan kearah panggung di daerah Jebres, dengan melewati
beberapa tempat yang menurut cerita eyangku juga mempunyai sejarah sinuhun-sinuhun jaman dulu,
diantaranya Panti Sari yang sekarang menjadi gedung pertemuan, Kampus
Psikologi Mesen, dan Stasiun Jebres Solo. -- Mungkin lain kali ya
temen-temen Komunitas Blusukan Solo, kita eksplor lebih jauh mengenai
tempat-tempat itu --
Bersepeda berurutan, kami
melintasi Perempatan Panggung yang terkenal sangat ramai dan padat. Dengan mengayuh pelan, akhirnya kami berhasil
menyeberang dan masuk gang didaerah Kampung Bibis Wetan menuju destinasi
berikutnya, yakni Kampung Kandang Sapi. Dari namanya saja mungkin sudah
bisa ditebak asal muasal kampung itu. Nah, masih menurut sejarah dan
cerita-cerita eyang, tempat itu dulunya adalah tempat untuk ngguyang atau memandikan sapi milik
keraton. Hingga akhirnya nama kampung ini tercipta. Hal ini ternyata juga
dibuktikan dengan salah sau peninggalan yang mendukung keberadaan Kampung
bernama Kandang Sapi ini. Aneh memang nama kampung satu ini, tapi begitulah
adanya J .
Nah salah satu bukti sejarah yang kami datangi adalah salah satu sendang
dibawah pohon tua berpostur tinggi rindang berakar tebal dan besar, berada
tepat di sebelah timur Masjid (-yang saya lupa namanya-) bernama Sendang
Penganten. Dan akhirnya kami juga ketahui bahwa pohon besar itu bernama Pohon
Kepoh.
Sendang Penganten, tempat sapi-sapi keraton dimandikan |
Kesan pertama melihat sendang ini
adalah : nggak nyangka, di tengah Kota Solo
yang sudah sedemikian rupa, ternyata masih ada sendang semacam ini. Bener-bener
kagum ama Solo, kagum juga ama Komunitas Blusukan Solo.
Kembali ke sendang. Sebetulnya tidak banyak yang kami eksplor dari tempat itu, sebab jujur aku kurang bisa mendengarkan penjelasan dari narasumber atau Pak RT mengenai tempat itu, soalnya mungkin bapaknya lupa mencet salah satu tombol toa, hingga suaranya kagak kedengeran – hehehe -- Atau mungkin aku yang nggak memperhatikan penjelasan beliau -- maaf ya pak ^_^V -- .
Kembali ke sendang. Sebetulnya tidak banyak yang kami eksplor dari tempat itu, sebab jujur aku kurang bisa mendengarkan penjelasan dari narasumber atau Pak RT mengenai tempat itu, soalnya mungkin bapaknya lupa mencet salah satu tombol toa, hingga suaranya kagak kedengeran – hehehe -- Atau mungkin aku yang nggak memperhatikan penjelasan beliau -- maaf ya pak ^_^V -- .
Yang saya ketahui, sendang ini
ada dua, yang satunya disebelah utaranya konon buat memandikan sapi yang
betina, makanya agak tertutup. -- Waahh ternyata sapi malu juga ya mandi
bareng ama temen-temenya --
Nah, sendang itu kini berair
hitam keruh, dan nampak kurang terawat, meskipun sudah ada tulisan himbauan
mengenai menjaga kebersihan sendang dan larangan untuk membuang kotoran
dilokasi sendang. Sempat melongok melihat ke dalam sendang, ternyata ada ikan
lele nya lho – Hahahaha, dan kenapa nggak dirawat ya, kalo dirawat kan bagus bisa digunakan
sebagai mata air jernih dan menarik *alah --
Usai mengunjungi Sendang
Penganten, kami melanjutkan destinasi terakhir perjalanan kali ini untuk
menuju Astana Oetara didaerah Nayu. Bersepeda menuruni jalan yang
agak njojrok (bhs.Jawa) atau menurun, kami melewati Pasar Mojosongo ke barat. -- Jujur, baru kali ini dan
untuk pertama kalinya saya melewati tempat dan jalan ini
-- . Sepanjang perjalanan terlihat padat rumah-rumah berderat, dan sekali
melintasi rel tanpa berpalang pintu di daerah sekitaran Ngempak dan Nusukan.
Ibu Yamti mulai menceritakan sejarah keberadaan Astana Oetara |
Lelah gowes, akhirnya sampai juga
di finish perjalanan ini. Ya, Astana Oetoro, astana yang dalam Bahasa Indonesia berarti pemakaman atau kuburan,
dan Oetoro yang berarti utara. Jadi, Pemakaman di sebelah utara.
Nah, Astana Oetoro ini adalah sebuah kompleks pemakaman dari Sri
Paduka Mangkoenegoro VI ((1896—1916), beserta para kerabat, garwa
prameswari, garwa ampil, dan para putranya, termasuk juga pepatihnya.
Tiba di depan kompleks pemakaman,
gerbang besi dengan lengkung diatas menyambut kami dengan pintunya yang sudah
terbuka lebar. Gerbang ini juga dikelilingi tembok batu bercat putih. Tepat
diatas pintu gerbang besi terdapat tulisan aksara jawa yang jujur aku nggak
bisa baca :) ,
dan angka tahun 1928.
Memasuki kompleks lebih dalam,
terdapat dua bangunan besar, sebelah timur terdapat pendhopo besar bercat krem
sebagai tempat menerima tamu dan singgah sementara. Sedangkan bangunan sebelah
barat adalah sebuah masjid lengkap
dengan tempat wudhunya. Riuh suara anak-anak TPA masjid membuat kompleks
pemakaman yang identik sepi dan seram berubah menjadi keramaian penuh
keceriaan. Tepat lurus di jalan masuk berada di halaman, terdapat sebuah patung
bergaya eropa, dan sebuah patung yang belum aku ketahui siapa dia.
Terlihat di sekitar kompleks, pepohonan
besar yang rimbun meneduhi kami saat kami disambut oleh seorang abdi dalem,
yang belakangan saya ketahui bernama Ibu Yamti, dan beliau termasuk
mantu buyut dari Sri Paduka Mangkoenegoro VI. Sambutan penuh keramahan
dengan memulai menceritakan sejarah keberadaan makam yang konon sudah ada sejak
1870 itu. Ibu Yamti bercerita, bahwa kompleks makam ini
diarsitekturi oleh Ir. Soekarno yang dikenal sangat dekat dengan kerabat
Puro Mangkunegaran.
Ada satu pertanyaan yang mungkin menjadi
pertanyaan buat semua peserta Blusukan. Nah, kalau Adipati yang bertahta
di Mangkunegaran biasanya dimakamkan di Pasareyan Girilayu di Bukit
Mengadeg Matesih Karanganyar, kenapa Sri Paduka Mangkoenegoro VI
dimakamkan disini? Akhirnya pertanyaan itu terjawab dengan penjelasan Ibu
Yamti, bahwa alasan kenapa Eyang Mangkoenegoro VI dimakamkan di area
ini, karena ingin dimakamkan ditengah kota, agar bisa dekat dengan kawulo atau
rakyatnya. Luar biasa, andai saja pemimpin-pemimpin negeri ini mencontoh sosok Paduka
Sri Mangkoenegoro VI -- sambil menghela napas panjang, prihatin apa
kecapekan yaa
--
Cungkup Makam di area paling tinggi, tempat disemayamkannya Sri Mangkunegoro VI |
Nah, Sri Mangkunagoro
VI lahir pada Jumat Pon 17 Rejeb Wawu 1785 (13 Maret 1857 Masehi) dengan
nama GRM Soejitno, putra keempat Sri Mangkunagoro IV dengan
permaisuri. Gelar KPA Dhayaningrat disandangnya saat berusia 17 tahun
(29 Agustus 1874) dan naik takhta pada Sabtu Legi, 15 Jumadilakir Jimakir 1826
(21 November 1896 Masehi).
Sri Mangkoenegoro VI
sebenarnya tidak berhak atas takhta Pura Mangkunegaran. Tapi karena
putra mahkota ketika Sri Mangkunagoro V
saat meninggal masih kecil, kekosongan takhta itu akhirnya beliau duduki
sementara. Nah, ketika putra mahkota telah cukup usia dan dirasa mampu, atas
kehendak sendiri dia turun takkta pada Selasa Kliwon, 3 Mulud Je 1846 (11
Januari 1916 Masehi) dan ambegawan sebagai Satria Pinandhita di Kota
Surabaya
hingga meninggal 24 Juni 1928.
Setelah mendapat penjelasan, kami
dipersilahkan menengok kompleks makam yang memang berada di area agak tinggi
dari sekitarnya, sebab sebelum menjadi makam, areal itu memang konon sebuah
bukit yang terletak di utara Kota Solo, dekat Jembatan Kalianyar
dan Terminal Tirtonadi, termasuk wilayah Kelurahan Nusukan, Banjarsari,
Solo. Gerbang menuju makam terbuat dari kayu dan bercat warna kuning dan
hijau. Lebih kedalam lagi terdapat beberapa makam lagi, yakni makam beberapa
patih Sri Mangkoenegoro VI, abdi dalem, dan kerabat lainnya. Naik
beberapa anak tangga, sampailah pada sebuah bangunan utama atau cungkup dan
paling tinggi diantara bangunan disekitarnya. Inilah makam Sri Mangkoenegoro
VI beserta garwa prameswarinya. Depan cungkup sebelah kanan dan kiri tepat
naik beberapa anak tangga tadi terdapat makam garwa ampil dan para putro. Sepi,
tenang, dan terlihat sederhana kompleks makam ini.
Makam putra dan kerabat, terletak disebelah timur tangga menuju makam utama |
Setelah meliaht kompleks makam,
kami singgah ke pendhopo sambil menunggu bedug Maghrib berkumandang untuk buka
puasa. Mengisi waktu jelang Maghrib, aku dengan beberapa temen sempet melihat
dan mengorek-orek lemari kuno di pendhopo yang terdapat beberapa macam surat dan file usang yang
sudah berubah warna menjadi coklat karena usia. Jujur kami tidak bisa mengeja
apalagi membaca diantaranya, sebab selain berbahasa londo alias Belanda
dan tulisan jawa, tulisan tersebut memang sudah agak buram dan tulisannya ada
yang hilang. -- Cuma mbatin : sungguh malang
kertas-kertas sepuh ini, kenapa nggak dirawat yaa, padahal bagus lho *alah --
Kartu undanga tempoe doeloe, berbahasa Belanda. Tapi yang pegang bukan orang Belanda. hehehe |
Detik-detik menjelang buka, kami
sudah mulai merangsek untuk memilih beberapa makanan yang sudah tersedia
dimeja. Kolak pisang, teh anget, intip, ledre, dan tak ketinggalan nasi plus
lauknya garang asem lengkap dengan karak. Jamaaaaaaaahhh, serbuuuuuu……. -- Pas
banget ama suara azan yang berkumandang di masjid depan -- Makanan unik
kali ini adalah ledre intip dan garang asem, yang konon merupakan makanan
favorit Sri Mangkoenegoro VI. --
Waaahhh berasa jadi bangsawan niii alias buangsane tangi awan.. Buahahahahahah
--
Setelah puas berbuka, sejenak
kami menyempatkan sholat di masjid kompleks pemakaman. Masjid sederhana dengan
dominasi warna hijau khas Mangkunegaran itu ramai sekali dengan para
jamaah yang kebanyakan anak- anak TPA beserta guru-guru ngajinya. Beberapa diantaranya
terlihat sangat galak karena perhatian sama adik-adik TPA yang sangat ramai bak
pasar tumpah, hanya untuk mengingatkan agar adik-adik TPA nya diam dan anteng
selama berada di dalam masjid -- Iya-iya mbak, aku kan meneng to, jangan
dimarahin ya --
Usai sudah Sholat Maghrib
dilaksanakan, akhirnya kami sudahi perjalanan kali ini dengan berfoto bareng
temen-temen Komunitas Blusukan Solo -- *tetep, 1 - 2 - 3
jepreeeet …. Wey uwis, Bubar, bubar, bubar.. -- Akhirnya sesi foto menutup
perjumpaan sekaligus perjalanan mblusuk kali ini. Puas rasanya perjalanan hari ini. Satu persatu
peserta mulai meinggalkan kompleks makam -- bukan karena takut lho ya -- untuk
pulang ke rumah masing-masing. Ada
yang jurusan Manahan, ada yang jurusan Pajang, Cemani, dan
ada yang juga deket dengan lokasi yakni daerah Sumber -- Deket
memang, tapi sudahlah --
Yang penting sudah dapat cerita baru dari wilayah
utara Solo. Capek? Iya, pegel? Iya, lapar lagi? Iya *eh…. Tapi nggak
papa, lelah ini sudah terbayar dengan ledre intip berbungkus tas kresek untuk
dibawa pulang *eh… Wakakakaka
Rohmat For "Komunitas Blusukan Solo”
embrwe
BalasHapusmantab....tetap lestarikan sejarah kota solo ke anak2 kita
BalasHapus