Minggu, 16 Juni 2013

Perahu Nostalgia Bengawan Solo

Gambar
Bengawan Solo Tempo Doeloe (Sumber : KITLV)


Sungai bengawan yang mengalir indah, dan kayuhan perahu yang melaju dengan tenang serasa menenggelamkan lamunan ini dalam sejarah masa silam. Berabad sudah berlalu, Bengawan Solo telah mengukir sejarah panjang dari peradaban manusia di Bumi Jawa.

Satu hal yang mungkin tidak semua orang khususnya warga Solo tahu. Bahwa tepi Bengawan Solo, tepatnya di Kampung Beton ternyata menyimpan eksotisme menarik dari sungai terpanjang di Jawa itu. Bengawan Solo dulunya merupakan bandar pelabuhan perdagangan yang ramai. Dalam catatan sejarah disebutkan, Bengawan Solo ternyata sudah ada sejak Kerajaan Majapahit, dan berlangsung hingga Kerajaan-kerajaan sesudahnya, sampai Kerajaan Besar Surakarta Hadiningrat sebagai penerus generasi Kerajaan Mataram Islam di Kota Gedhe. Namun sisa-sisa kejayaan tepian Bengawan Solo sedikit saja yang bisa kita jumpai.
Menelusuri sejarah Bengawan Solo tentunya belum lengkap rasanya, jika belum merasakan sendiri bagaimana leluhur kita dulu berlabuh dan berlayar di Sungai Bengawan Solo, hanya dengan menggunakan perahu. Pengalaman yang unik dan mengasyikkan akan kita rasakan jika ingin mencoba berlayar untuk menyeberang atau sekedar melintas di Sungai Bengawan Solo. Cuma sekedar refreshing, why not??
Hanya dengan membayar seribu rupiah, kita sudah bisa menikmati bagaimana sensasi menggunakan transportasi air tersebut. Cukup murah bukan?. Satu hal yang sudah jarang kita jumpai di Kota Besar seperti Solo, yang seiring perkembangan jaman, moda transportasi air tradisional semacam perahu sudah mulai ditinggalkan, dan berganti dengan transportasi bermesin. Tapi Bengawan Solo masih tetap setia pada orang yang masih mencari nafkah diatasnya. Nah, jika beruntung, kita bisa berlayar bareng dengan warga sekitar yang juga hendak menyeberang, atau bahkan anak-anak sekolah di pagi hari yang hendak mencari ilmu ke “seberang pulau”.hehe…
Gambar
Jangan lupa, bayar disini
Gambar
Monggo, giliran berikutnya..


Perahu Bengawan Solo biasanya dikemudikan oleh seorang atau dua orang “nakhoda” perahu, yang setiap hari siap membantu kita menyeberang. Bisa dipastikan para “nakhoda” perahu bengawan itu telah berpengalaman berpuluh tahun, dan sudah akrab dengan sahabat setianya, yakni perahu dan pastinya Sungai Bengawan Solo. Dermaga atau Bandar Bengawan Solo beroperasi sampai malam lho, biasanya sampai jam 10, bahkan sampai jam 11 malam. Namun tak jarang, petugas jaga dermaga tetap setia menunggu para penumpang hingga larut malam.
Setelah sampai seberang, kita bisa lanjutkan kembali perjalanan kita menuju Desa Gadingan, Kecamatan Mojolaban, Kabupaten Sukoharjo. Desa Gadingan merupakan sentral pembuatan karak, camilan pelengkap makan dari olahn beras yang diberi bumbu, dipotong dan dikeringkan, lantas digoreng. Dari sentral pembuatan karak itulah, para pedagangnya mengarungi Sungai Bengawan Solo untuk menjual ke para penikmatnya.

Kembali, Sungai Bengawan Solo menjadi pengantar setia bagi mereka yang masih membutuhkannya. Kenangan sejarah akan keramaian Tepi Bengawan Solo sebagai bandar atau pelabuhan memang sudah tak tersisa, namun kehidupan dan masyarakatnya masih menyisakan sedikit Nostalgia dari Bandar Besar Bengawan Solo.


Gambar
Menunggu giliran untuk menyeberang
Gambar
Melaju pelan, mengikuti irama arus sungai Bengawan Solo

Pantas saja, Almarhum Gesang menggambarkan begitu indah Sungai Bengawan Solo lengkap dengan perahunya, lewat lagu berjudul “Bengawan Solo”, hingga membawa Gesang, Solo, dan Indonesia dikenal diseluruh dunia. Berbeda dengan Almarhum Gesang, seniman campursari, Almarhum Manthous juga mengabadikan Sungai Bengawan Solo lewat tembang Jawa berjudul “Bengawan Sore”. Walaupun dengan konteks berbeda, tapi Bengawan Solo tetap akan menjadi sebuah kenangan terindah bagi kita yang ingin blusukan Kota Solo dan bernostalgia dengan Sungai bernama Bengawan Solo..
Rohmat Hidayat for Blusukan Solo

2 komentar:

  1. Gadingan, Ngepung.......kampung tempat pernikahsn kami di tahun 1975.Penuh kenangan manis, ketika kami diarak dan menyeberang bengawan menuju Gereja Katolik Purbayan Solo. Romo Haripranata SJ menjadi saksi dengan meresmikan pernikahan kami. Akhirnya kam kembali dan disambut para sepuh yang berblangkon dalam acara adat menginjak telur.Kota dan kampung yang penuh misteri telah menjadi asal nenek moyang bagi anak dan cucu kami. Semoga bengawan Solo dapat tetap dijaga kelestariannya.

    BalasHapus