Kesukaan saya akan sejarah dan
keunikan-keunikan Kota Solo membuat saya selalu penasaran dengan tempat-tempat
yang belum terjamah dan belum diketahui banyak orang. Hobi blusukan siang itu nampaknya tersalurkan, ketika
seorang rekan mengajak saya untuk mengunjungi sebuah makam kuno ditengah pusat
perbelanjaan batik di Kota Solo. Ya, makam itu tak lain dan tak bukan adalah
makam Raden Pabelan yang terletak begitu sepi dan terpencil dari keramaian mall
tekstil Solo itu. Meski agak kecewa karena makam ditutup, dan mengharuskan
meminta ijin ke satpam agar dibukakan pintu makam, namun kekecewaan kita terbayar
dengan diskusi singkat mengenai tokoh yang dimakamkan di area perbelanjaan itu.
Raden Pabelan, putra Tumenggung Mayang, yang hidup di masa kejayaan Keraton
Pajang itulah yang menjadi bahan diskusi kita sepanjang perjalanan. Kisah Raden
Pabelan bermula ketika mencintai “putri larangan”, Gusti Sekar Kedhaton, yang
merupakan putri Kanjeng Sultan Hadiwijoyo Pajang. Walaupun Sang Sekar Kedhaton
sudah melabuhkan cintanya kepada Sang Raden Pabelan, tapi cinta yang bertaut
itu tak terbalaskan dengan kebahagiaan, melainkan harus berakhir tragis dengan
tewasnya Raden Pabelan ditangan sang paman atas perintah Sultan Hadiwijoyo.
Singkat cerita, mayat Raden Pabelan dibuang ke Kali Laweyan dan nyangkrah atau tersangkut dikali di Desa
Sala. Oleh sesepuh Desa Sala, yakni Ki Gedhe Sala, mayat tersebut dirawat dan
dimakamkan selayaknya didaerah dimana mayat itu ditemukan. Oleh warga sekitar, daerah
penemuan mayat Raden Pabelan disebut bhatangan
yang berarti bangkai. Hingga jaman Keraton Solo bahkan sampai sekarang pun,
gapura besar peninggalan Susuhunan Paku Buwono X di daerah Raden Pabelan
dimakamkan juga disebut Gapuro Bhatangan.
Diskusi dan cerita singkat itu
tak terasa membawa langkah kami menuju Balai Agung dikawasan alun-alun lor atau utara Keraton Surakarta. Sudah
lama saya penasaran dengan gedung yang masih mempunyai tegel lantai klasik itu. Kesempatan siang itu kami manfaatkan untuk
mblusuk kedalam Balai Agung yang
masih menjadi satu konsep dengan alun-alun lor
Keraton Surakarta Hadiningrat.
Gedung kuno berkaca ini terletak
di sebelah timur Pasar Cinderamata Solo. Letaknya yang berada dibawah pohon
beringin besar dan terkesan tertutup membuatnya jarang dilirik orang yang
mampir ke kawasan pasar souvenir Kota Solo. Sementara kami begitu terkagum, ketika
memasuki area dalam gedung. Tak pernah terbayangkan sebelumnya, bahwa gedung
ini merupakan sentral pembuatan wayang kulit dan gamelan, serta tempat belajar
seni pedhalangan yang dilakukan setiap malam Minggu Legi dalam hari pasaran
Jawa.
Siang itu, kami bertemu dengan
Pak Sukirdi dan rekannya. Mereka berdua merupakan seniman pembuat wayang kulit
di Balai Agung. Tak tanggung tanggung, mereka sudah hampir 25 tahun menekuni kemahirannya
membuat seni wayang kulit. Walaupun tak melihat proses pemahatan wayang kulit,
tapi kami masih berkesempatan melihat proses pewarnaannya. Kami “ganggu” kerja
Pak Sukirdi dengan rasa penasaran mengenai proses dan tahapan pembuatan wayang
kulit.
Proses pembuatan wayang diawali
dengan memilih kulit yang akan dijadikan wayang. Untuk kulit biasanya memakai
bahan dari kulit sapi, kerbau, dan kulit kambing. Tapi untuk bahan wayang kulit
di Balai Agung spesialis menggunakan kulit kerbau, yang dipasok dari wilayah
Pocung Yogyakarta, dan dikirim kepada pemesan dalam bentuk lembaran-lembaran
kering.
Setelah proses pemilihan bahan,
tahap selanjutnya adalah menggambar pola dasar tokoh wayang yang akan dipahat.
Ada perbedaan bentuk antara wayang gagrak
Sala dan wayang gagrak Jogja, meski
mempunyai bentuk dasar yang sama. Untuk wayang gagrak Sala biasanya cenderung berpostur kurus kecil, sedangkan
wayang gagrak Jogja berpostur agak
gemuk dan cenderung lebih besar dari wayang Sala.
Proses selanjutnya adalah
merendam kulit yang telah diberi pola dasar kedalam air biasa selama kurang
lebih seminggu. Setelah perendaman, kulit dipenthang
atau dilebarkan diatas papan dan diangin-anginkan tanpa paparan sinar matahari.
Setelah bahan kulit benar-benar kering, proses selanjutnya adalah memahat pola
yang sudah digambar sebelumnya. Perlu kejelian dalam memahat wayang, mengingat
pernak-pernik seni ukir wayang yang sangat detail sesuai pakem yang sudah ada,
yakni pakem Keraton Sala.
Proses menthang |
Proses memahat, wayang dalam bentuk pahatan |
Persiapan pengecetan wayang |
Setelah pola wayang sudah terukir
lengkap, proses akhir pembuatan seni tradisi ini yaitu pewarnaan atau
pengecatan sesuai karakter tokoh dan penambahan aksen warna emas pada wayang.
Untuk warna emasnya sendiri terdiri dari 3 jenis warna, yakni emas prodo, emas grenjeng, dan emas bron
berupa cat keemasan.
Tahap pengecatan atau pemberian warna pada wayang |
Pemberian aksen keemasan pada wayang menggunakan emas grenjeng |
Emas grenjeng, dipakai untuk penambahan aksen wayan kulit |
Pak Sukirno yang sudah katam
dengan seni pembuatan wayang kulit ini bercerita, bahwa setiap tokoh wayang
mempunyai karakter dan detail ukir sendiri-sendiri. Ia mencontohkan, untuk
tokoh raja biasanya menggunakan pola ukir lereng
dan parang, sedangkan untuk punakawan
menggunakan pola ukir sederhana berupa kawung
dan lain sebagainya. Untuk pembuatan satu tokoh wayang berukuran kecil seperti
tokoh Puntadewa dan Janaka, biasanya dikerjakan selama 5 hingga 7 hari,
sedangkan untuk tokoh berperawakan besar seperti raksasa dan gunungan
memerlukan waktu sekitar seminggu hingga
dua minggu. Untuk harga satu buah wayang kulit juga variatif, berkisar antara
350 ribu hingga 3,5 juta, tergantung ukuran. Saat ini wayang Balai Agung
dipesan untuk kebutuhan pertunjukan wayang kulit dan sebagai souvenir khas Kota
Budaya, Solo.
Wayang Kulit jadi |
Perjalanan siang itu kami akhiri
dengan rasa puas bisa mblusuk ke “Balai Wayang” Solo. Sudah
saatnya Wong Solo dan orang luar Solo tahu, bahwa tidak hanya pertunjukan
wayangnya saja yang masih hidup di kota ini, seni kerajinannya pun juga masih
menunjukkan “denyut nadi” yang senantiasa terus berdetak.