Sabtu, 30 November 2013

Blusukan Ke Balai (Agung) Wayang


Kesukaan saya akan sejarah dan keunikan-keunikan Kota Solo membuat saya selalu penasaran dengan tempat-tempat yang belum terjamah dan belum diketahui banyak orang. Hobi blusukan siang itu nampaknya tersalurkan, ketika seorang rekan mengajak saya untuk mengunjungi sebuah makam kuno ditengah pusat perbelanjaan batik di Kota Solo. Ya, makam itu tak lain dan tak bukan adalah makam Raden Pabelan yang terletak begitu sepi dan terpencil dari keramaian mall tekstil Solo itu. Meski agak kecewa karena makam ditutup, dan mengharuskan meminta ijin ke satpam agar dibukakan pintu makam, namun kekecewaan kita terbayar dengan diskusi singkat mengenai tokoh yang dimakamkan di area perbelanjaan itu. Raden Pabelan, putra Tumenggung Mayang, yang hidup di masa kejayaan Keraton Pajang itulah yang menjadi bahan diskusi kita sepanjang perjalanan. Kisah Raden Pabelan bermula ketika mencintai “putri larangan”, Gusti Sekar Kedhaton, yang merupakan putri Kanjeng Sultan Hadiwijoyo Pajang. Walaupun Sang Sekar Kedhaton sudah melabuhkan cintanya kepada Sang Raden Pabelan, tapi cinta yang bertaut itu tak terbalaskan dengan kebahagiaan, melainkan harus berakhir tragis dengan tewasnya Raden Pabelan ditangan sang paman atas perintah Sultan Hadiwijoyo. Singkat cerita, mayat Raden Pabelan dibuang ke Kali Laweyan dan nyangkrah atau tersangkut dikali di Desa Sala. Oleh sesepuh Desa Sala, yakni Ki Gedhe Sala, mayat tersebut dirawat dan dimakamkan selayaknya didaerah dimana mayat itu ditemukan. Oleh warga sekitar, daerah penemuan mayat Raden Pabelan disebut bhatangan yang berarti bangkai. Hingga jaman Keraton Solo bahkan sampai sekarang pun, gapura besar peninggalan Susuhunan Paku Buwono X di daerah Raden Pabelan dimakamkan juga disebut Gapuro Bhatangan

Diskusi dan cerita singkat itu tak terasa membawa langkah kami menuju Balai Agung dikawasan alun-alun lor atau utara Keraton Surakarta. Sudah lama saya penasaran dengan gedung yang masih mempunyai tegel lantai klasik itu. Kesempatan siang itu kami manfaatkan untuk mblusuk kedalam Balai Agung yang masih menjadi satu konsep dengan alun-alun lor Keraton Surakarta Hadiningrat. 
 
Balai Agung, tempat kerajinan wayang kulit

Balai Agung tampak dari depan
Gedung kuno berkaca ini terletak di sebelah timur Pasar Cinderamata Solo. Letaknya yang berada dibawah pohon beringin besar dan terkesan tertutup membuatnya jarang dilirik orang yang mampir ke kawasan pasar souvenir Kota Solo. Sementara kami begitu terkagum, ketika memasuki area dalam gedung. Tak pernah terbayangkan sebelumnya, bahwa gedung ini merupakan sentral pembuatan wayang kulit dan gamelan, serta tempat belajar seni pedhalangan yang dilakukan setiap malam Minggu Legi dalam hari pasaran Jawa.   

Siang itu, kami bertemu dengan Pak Sukirdi dan rekannya. Mereka berdua merupakan seniman pembuat wayang kulit di Balai Agung. Tak tanggung tanggung, mereka sudah hampir 25 tahun menekuni kemahirannya membuat seni wayang kulit. Walaupun tak melihat proses pemahatan wayang kulit, tapi kami masih berkesempatan melihat proses pewarnaannya. Kami “ganggu” kerja Pak Sukirdi dengan rasa penasaran mengenai proses dan tahapan pembuatan wayang kulit.

Proses pembuatan wayang diawali dengan memilih kulit yang akan dijadikan wayang. Untuk kulit biasanya memakai bahan dari kulit sapi, kerbau, dan kulit kambing. Tapi untuk bahan wayang kulit di Balai Agung spesialis menggunakan kulit kerbau, yang dipasok dari wilayah Pocung Yogyakarta, dan dikirim kepada pemesan dalam bentuk lembaran-lembaran kering. 

Setelah proses pemilihan bahan, tahap selanjutnya adalah menggambar pola dasar tokoh wayang yang akan dipahat. Ada perbedaan bentuk antara wayang gagrak Sala dan wayang gagrak Jogja, meski mempunyai bentuk dasar yang sama. Untuk wayang gagrak Sala biasanya cenderung berpostur kurus kecil, sedangkan wayang gagrak Jogja berpostur agak gemuk dan cenderung lebih besar dari wayang Sala. 

Proses selanjutnya adalah merendam kulit yang telah diberi pola dasar kedalam air biasa selama kurang lebih seminggu. Setelah perendaman, kulit dipenthang atau dilebarkan diatas papan dan diangin-anginkan tanpa paparan sinar matahari. Setelah bahan kulit benar-benar kering, proses selanjutnya adalah memahat pola yang sudah digambar sebelumnya. Perlu kejelian dalam memahat wayang, mengingat pernak-pernik seni ukir wayang yang sangat detail sesuai pakem yang sudah ada, yakni pakem Keraton Sala.  
Proses menthang

Proses memahat, wayang dalam bentuk pahatan

Persiapan pengecetan wayang

Setelah pola wayang sudah terukir lengkap, proses akhir pembuatan seni tradisi ini yaitu pewarnaan atau pengecatan sesuai karakter tokoh dan penambahan aksen warna emas pada wayang. Untuk warna emasnya sendiri terdiri dari 3 jenis warna, yakni emas prodo, emas grenjeng, dan emas bron berupa cat keemasan.  

Tahap pengecatan atau pemberian warna pada wayang

Pemberian aksen keemasan pada wayang menggunakan emas grenjeng

Emas grenjeng, dipakai untuk penambahan aksen wayan kulit

Pak Sukirno yang sudah katam dengan seni pembuatan wayang kulit ini bercerita, bahwa setiap tokoh wayang mempunyai karakter dan detail ukir sendiri-sendiri. Ia mencontohkan, untuk tokoh raja biasanya menggunakan pola ukir lereng dan parang, sedangkan untuk punakawan menggunakan pola ukir sederhana berupa kawung dan lain sebagainya. Untuk pembuatan satu tokoh wayang berukuran kecil seperti tokoh Puntadewa dan Janaka, biasanya dikerjakan selama 5 hingga 7 hari, sedangkan untuk tokoh berperawakan besar seperti raksasa dan gunungan memerlukan waktu  sekitar seminggu hingga dua minggu. Untuk harga satu buah wayang kulit juga variatif, berkisar antara 350 ribu hingga 3,5 juta, tergantung ukuran. Saat ini wayang Balai Agung dipesan untuk kebutuhan pertunjukan wayang kulit dan sebagai souvenir khas Kota Budaya, Solo.

Wayang Kulit jadi
 
Wayang Kulit jadi

Perjalanan siang itu kami akhiri dengan rasa puas bisa mblusuk ke “Balai Wayang” Solo. Sudah saatnya Wong Solo dan orang luar Solo tahu, bahwa tidak hanya pertunjukan wayangnya saja yang masih hidup di kota ini, seni kerajinannya pun juga masih menunjukkan “denyut nadi” yang senantiasa terus berdetak.

Salam budaya, salam Blusukan Solo   

2 komentar: