Jumat, 29 November 2013

T-K-S : Kuliner Langka Jokteng Kraton

Terlahir dan berkesempatan hidup di Solo merupakan suatu kebanggan tersendiri bagi saya. Bangga, sebab Kota Jawa bernama Solo ini sudah begitu akrab dikenal di seluruh Indonesia, bahkan dunia. Menjadi “Wong Solo” membuatku begitu dekat dan mengenal kota ini. Hampir semua tempat di Kota Solo menarik untuk dikunjungi, bahkan gang-gang sempit dalam kampung yang jarang dijamah orang pun begitu eksotis untuk dinikmati. 

Berawal dari hobi “Blusukan Solo”, saya bersama rekan mblusuk rela berpanas bercapek ria menyusuri dan mencari keunikan-keunikan baru Kota Solo yang jarang orang tahu dan jarang pula terekspos. Bermodal ingatan memori “nostalgia” semasa SMA yang masih tersimpan rapi diotak, kesempatan mblusuk kali ini tak terlewatkan untuk mengenalkan satu keunikan kuliner kota yang sudah saya kenal sejak SMA dulu kepada rekan saya. Kalau orang sudah sangat kenal dengan cabuk rambak, sego liwet, ledre , intip, dan serabi yang menjadi ikon kuliner Solo, tapi mungkin orang tak kenal dengan satu kuliner camilan bernama T-K-S. Nah, apa itu T-K-S?

T-K-S merupakan singkatan dari Telo-Kacang-Sambel, terdiri dari telo atau ubi yang diiris tipis seperti keripik dan kacang yang digoreng, kemudian dicampur dengan sambal olahan dari bumbu berupa cabai, bawang, garam, dan gula jawa. Sekilas mirip sambal brambang asem, tapi sambal T-K-S terlihat lebih kental. Penyajiannya pun unik, telo dan kacang ditempatkan diatas pincuk atau bungkus kertas dan ditaburi sambal diatasnya. Rasa gurih telo dan kacang semakin nikmat dicampur dengan pedasnya sambal T-K-S. Harganya pun relatife murah, cukup dengan 3000 rupiah untuk bisa menikmati sepincuk T-K-S. 


T-K-S : Telo-Kacang-Sambal
 
Telo atau Ubi goreng iris tipis
Kacang Goreng
Sambal T-K-S

Nah, kesempatan siang itu, akhirnya saya manfaatkan bersama rekan untuk singgah sebentar diwarung T-K-S. Masih hafal dalam ingatan saya, penjualnya adalah seorang embah-embah sepuh. Mbah Amiatun namanya, yang akrab disapa Mbah Atun adalah penjual asli T-K-S yang setiap hari menggelar dagangannya diwarung yang terletak di Jokteng ( pojok beteng ) wetan Keraton Surakarta, tepatnya di Jalan Untung Suropati daerah Kedung Lumbu Pasar Kliwon Solo. Nyaris tidak ada perubahan warung Mbah Atun yang sederhana itu, sama seperti ketika saya masih SMA dulu, hanya ada tambahan berupa tenda MMT bertuliskan nama warung T-K-S.  

Warung T-K-S yang sederhana di Jokteng Wetan Keraton Surakarta
Tembok Baluwarti Lor Keraton dilihat dari Warung Mbah Atun

Mbah Atun juga masih terlihat seperti dulu, masih semangat dan cekatan, meski usianya tak lagi muda. Hal itu yang saya rasakan ketika masuk kewarungnya yang kecil siang itu. Berasa kembali ke masa-masa SMA dulu, keramahan Mbah Atun yang selalu menyapa hangat setiap pembelinya membuat saya selalu teringat dan kangen dengan keramahan, kesederhanaan, dan kebersahajaannya. 
 
Sangat bersahaja memang, sampai-sampai Mbah tidak mau difoto untuk diambil gambarnya.


ngapunten mengko ndak wong-wong pasar do ngerti – maaf kalau difoto, nanti orang-orang pasar pada tahu” kilahnya sambil tersenyum lebar.


 
Mbah Atun melayani pembeli
Mbah Atun dengan dagangannya, T-K-S

didahar mriki nopo dibungkus Nang – dimakan disini apa dibungkus Cah bagus” adalah sapaan khasnya setiap ada pembeli yang mampir kewarungnya. Kesempatan mampir kali ini pun tak saya lewatkan sia-sia bersama rekan untuk ngobrol dengan Mbah Atun, merekam jejak perjalanan Mbah Atun dengan T-K-S nya, dan ngobrol ringan seputar kehidupannya. 


Mbah Atun mulai bercerita awal berjualan T-K-S nya, yang bermula dari nama pemberian cucunya untuk camilan langka nan unik ini. Perempuan berusia 78 tahun itu sudah berjualan hampir 30 tahun. Mbah biasanya membuka warungnya jam 9 pagi, dan dagangannya sudah habis sebelum waktu dzuhur tiba. Pelangganya pun variatif, dari abang becak hingga orang-orang yang sekedar lewat dikawasan sekitar Keraton, Kedung Lumbu,dan jalan Supit Urang Keraton. Saya simak dengan seksama “dongeng” Mbah Atun sembari memperhatikan tangan tuanya yang masih lincah menggoreng irisan telo dan kacang ke dalam wajan. Usianya yang sudah sepuh ternyata tidak menghalanginya untuk terus bekerja dan menggeluti profesinya sebagai penjual T-K-S, meski sudah dilarang oleh anak dan cucunya yang menghendaki Mbah Atun istirahat dirumah. 


“Buat ngisi waktu Nang” katanya.


Mbah Atun juga bercerita, peralatan masak yang digunakannya merupakan peninggalan ibunya yang sudah bisa dipastikan berumur lebih dari setengah abad. Peralatan berupa tirisan itu memang sudah usang, tapi masih terlihat kuat untuk meniriskan gorengan berupa kacang dan telo-nya. 

Tirisan lawas peninggalan Ibu Mbah Atun

“Yaa, Alhamdulillah laris, telas – habis”, kata yang selalu Mbah Atun ucapkan sebagai bentuk rasa syukur kepada Gusti Pangeran yang sudah memberi rezeki. 


T-K-S hampir dipastikan langka, mungkin hanya Mbah Atun saja yang berjualan camilan ini, dan mungkin juga hanya ada di Solo. Meski tak setenar serabi, intip, dan camilan khas Solo lainnya, T-K-S bisa menjadi camilan baru yang layak “dibanggakan” sebagai makanan khas Kota Bengawan. Sederhana memang, tapi T-K-S selalu ludes diburu dan mampu membuat ketagihan para penikmat kuliner langka Jokteng Keraton ini. 


Perjalanan mblusuk siang itu kami akhiri dengan membawa sebungkus T-K-S sebagai camilan dalam perjalanan, sekaligus oleh-oleh untuk kami kenalkan kepada yang belum tahu telo, kacang, dan sambel nya Mbah Atun. 


Selamat mencoba dan salam Blusukan Solo

 

3 komentar: