Terlahir dan berkesempatan hidup
di Solo merupakan suatu kebanggan tersendiri bagi saya. Bangga, sebab Kota Jawa
bernama Solo ini sudah begitu akrab dikenal di seluruh Indonesia, bahkan dunia.
Menjadi “Wong Solo” membuatku begitu dekat dan mengenal kota ini. Hampir semua
tempat di Kota Solo menarik untuk dikunjungi, bahkan gang-gang sempit dalam
kampung yang jarang dijamah orang pun begitu eksotis untuk dinikmati.
Berawal dari hobi “Blusukan
Solo”, saya bersama rekan mblusuk rela
berpanas bercapek ria menyusuri dan mencari keunikan-keunikan baru Kota Solo
yang jarang orang tahu dan jarang pula terekspos. Bermodal ingatan memori
“nostalgia” semasa SMA yang masih tersimpan rapi diotak, kesempatan mblusuk kali ini tak terlewatkan untuk
mengenalkan satu keunikan kuliner kota yang sudah saya kenal sejak SMA dulu kepada
rekan saya. Kalau orang sudah sangat kenal dengan cabuk rambak, sego liwet,
ledre , intip, dan serabi yang menjadi ikon kuliner Solo, tapi mungkin orang
tak kenal dengan satu kuliner camilan bernama T-K-S. Nah, apa itu T-K-S?
T-K-S merupakan singkatan dari Telo-Kacang-Sambel, terdiri dari telo atau ubi yang diiris tipis seperti keripik dan kacang yang digoreng, kemudian
dicampur dengan sambal olahan dari bumbu berupa cabai, bawang, garam, dan gula
jawa. Sekilas mirip sambal brambang asem, tapi sambal T-K-S terlihat lebih
kental. Penyajiannya pun unik, telo dan
kacang ditempatkan diatas pincuk atau
bungkus kertas dan ditaburi sambal
diatasnya. Rasa gurih telo dan kacang
semakin nikmat dicampur dengan pedasnya sambal T-K-S. Harganya pun relatife
murah, cukup dengan 3000 rupiah untuk bisa menikmati sepincuk T-K-S.
T-K-S : Telo-Kacang-Sambal |
Telo atau Ubi goreng iris tipis |
Sambal T-K-S |
Nah, kesempatan siang itu,
akhirnya saya manfaatkan bersama rekan untuk singgah sebentar diwarung T-K-S. Masih
hafal dalam ingatan saya, penjualnya adalah seorang embah-embah sepuh. Mbah
Amiatun namanya, yang akrab disapa Mbah Atun adalah penjual asli T-K-S yang
setiap hari menggelar dagangannya diwarung yang terletak di Jokteng ( pojok
beteng ) wetan Keraton Surakarta, tepatnya di Jalan Untung Suropati daerah
Kedung Lumbu Pasar Kliwon Solo. Nyaris tidak ada perubahan warung Mbah Atun
yang sederhana itu, sama seperti ketika saya masih SMA dulu, hanya ada tambahan
berupa tenda MMT bertuliskan nama warung T-K-S.
Warung T-K-S yang sederhana di Jokteng Wetan Keraton Surakarta |
Tembok Baluwarti Lor Keraton dilihat dari Warung Mbah Atun |
Mbah Atun juga masih terlihat
seperti dulu, masih semangat dan cekatan, meski usianya tak lagi muda. Hal itu
yang saya rasakan ketika masuk kewarungnya yang kecil siang itu. Berasa kembali
ke masa-masa SMA dulu, keramahan Mbah Atun yang selalu menyapa hangat setiap
pembelinya membuat saya selalu teringat dan kangen dengan keramahan,
kesederhanaan, dan kebersahajaannya.
Sangat bersahaja memang, sampai-sampai
Mbah tidak mau difoto untuk diambil gambarnya.
“ngapunten mengko ndak wong-wong pasar do ngerti – maaf kalau
difoto, nanti orang-orang pasar pada tahu” kilahnya sambil tersenyum lebar.
“didahar mriki nopo dibungkus Nang – dimakan disini apa dibungkus
Cah bagus” adalah sapaan khasnya setiap ada pembeli yang mampir kewarungnya.
Kesempatan mampir kali ini pun tak saya lewatkan sia-sia bersama rekan untuk
ngobrol dengan Mbah Atun, merekam jejak perjalanan Mbah Atun dengan T-K-S nya, dan ngobrol ringan seputar
kehidupannya.
Mbah Atun mulai bercerita awal
berjualan T-K-S nya, yang bermula dari nama pemberian cucunya untuk camilan
langka nan unik ini. Perempuan berusia 78 tahun itu sudah berjualan hampir 30
tahun. Mbah biasanya membuka warungnya jam 9 pagi, dan dagangannya sudah habis
sebelum waktu dzuhur tiba. Pelangganya pun variatif, dari abang becak hingga
orang-orang yang sekedar lewat dikawasan sekitar Keraton, Kedung Lumbu,dan
jalan Supit Urang Keraton. Saya simak dengan seksama “dongeng” Mbah Atun
sembari memperhatikan tangan tuanya yang masih lincah menggoreng irisan telo dan kacang ke dalam wajan. Usianya
yang sudah sepuh ternyata tidak menghalanginya untuk terus bekerja dan
menggeluti profesinya sebagai penjual T-K-S, meski sudah dilarang oleh anak dan
cucunya yang menghendaki Mbah Atun istirahat dirumah.
“Buat ngisi waktu Nang” katanya.
Mbah Atun juga bercerita, peralatan
masak yang digunakannya merupakan peninggalan ibunya yang sudah bisa dipastikan
berumur lebih dari setengah abad. Peralatan berupa tirisan itu memang sudah
usang, tapi masih terlihat kuat untuk meniriskan gorengan berupa kacang dan telo-nya.
“Yaa, Alhamdulillah laris, telas – habis”, kata yang selalu Mbah
Atun ucapkan sebagai bentuk rasa syukur kepada Gusti Pangeran yang sudah memberi rezeki.
T-K-S hampir dipastikan langka,
mungkin hanya Mbah Atun saja yang berjualan camilan ini, dan mungkin juga hanya
ada di Solo. Meski tak setenar serabi, intip, dan camilan khas Solo lainnya, T-K-S
bisa menjadi camilan baru yang layak “dibanggakan” sebagai makanan khas Kota
Bengawan. Sederhana memang, tapi T-K-S selalu ludes diburu dan mampu membuat
ketagihan para penikmat kuliner langka Jokteng Keraton ini.
Perjalanan mblusuk siang itu kami akhiri dengan membawa sebungkus T-K-S
sebagai camilan dalam perjalanan, sekaligus oleh-oleh untuk kami kenalkan
kepada yang belum tahu telo, kacang,
dan sambel nya Mbah Atun.
original....baru tau juga...jadi pengen nyoba:D:D
BalasHapushiyaa..aku ikut mblusuk2 gitu mas :D
Hapushayok ikut mblusuk, kapan siap dianter :D
Hapus